WARTAPUBLIK.COM, Pangkalpinang– Rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 di PT Timah masih terus berlanjut. Kali ini, PT Timah menyelenggarakan webinar bertajuk “Laut Bukan Tong Sampah: Praktik Baik Pengelolaan Limbah Plastik di Kapal Produksi Timah” pada Selasa (18/06/2025).
Webinar ini merupakan bagian dari langkah nyata perusahaan dalam menerapkan prinsip good mining practices yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, khususnya dalam pengelolaan operasional tambang laut.
Webinar di buka langsung oleh Ryan Andri, GM Operasi & Produksi PT TIMAH Tbk, dan menghadirkan narasumber Saviqri Suryaputra, S.T, M.T dan Alles Sandra Tradeli, S.T dari Direktorat Teknik dan Lingkungan KESDM, Prof. M. Reza Cordova dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Benny P. Hutahaean, Kepala Teknik Tambang Area Bangka Utara PT TIMAH Tbk.
Dalam kesempatan ini, Ryan Andri menekankan pentingnya menjaga laut sebagai sumber daya dan ekosistem yang harus dilindungi.
“Laut memang menyimpan sumber daya mineral yang sangat berharga, namun juga merupakan ekosistem kompleks yang harus kita jaga keseimbangannya,” ujarnya.
Ia menambahkan, webinar ini bukan sekadar seremoni, tetapi bagian dari tanggung jawab moral dan profesional insan pertambangan untuk mengambil peran aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan.
“Webinar ini menjadi wadah edukasi dan refleksi untuk meningkatkan praktik pertambangan laut yang baik dan berkelanjutan,” tambahnya.
Selaras dengan tema global Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 yakni “Ending Plastic Pollution”, PT TIMAH Tbk mendorong refleksi sekaligus aksi nyata insan pertambangan dalam mengatasi permasalahan plastik, terutama di wilayah laut yang menjadi ruang operasi perusahaan.
Saviqri Suryaputra, S.T, M.T dalam paparannya menyampaikan bahwa pengelolaan lingkungan dalam kegiatan pertambangan tidak boleh hanya dianggap sebagai kewajiban administratif, tetapi harus menjadi strategi inti perusahaan.
“Industri tambang saat ini tidak cukup hanya mengelola cadangan. Yang lebih penting adalah bagaimana perusahaan menunjukkan kontribusinya terhadap keberlanjutan dan membangun kepercayaan publik,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa pemegang IUP memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk memastikan praktik reklamasi dan pengelolaan limbah sesuai dengan dokumen lingkungan yang telah disetujui.
Senada, Ales Tardeli, S.T., menambahkan bahwa pengelolaan limbah plastik di kapal produksi harus dilakukan secara menyeluruh dan terstruktur.
“Setiap kapal berbobot di atas 100 GT wajib mencatat limbah plastik yang masuk dan keluar. Ini bukan sekadar pemisahan sampah, tetapi mencakup audit harian, penyimpanan, penyaluran, hingga edukasi kru kapal secara berkelanjutan,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya penerapan kebijakan zero plastic leakage serta pelibatan kru dan HSE officer dalam pengendalian dan pengawasan lapangan secara rutin.
“Kepala kapal dan ABK adalah ujung tombak. Pengawasan harus dilakukan melalui audit internal harian hingga mingguan. Inilah bentuk nyata dari pendekatan beyond compliance,” ungkap Ales.
Sementara itu, Benny P. Hutahaean menjelaskan, pengelolaan limbah di kapal produksi tidak sekadar kewajiban teknis, tetapi menjadi bagian dari komitmen keberlanjutan perusahaan terhadap lingkungan laut.
“Kami menerapkan prinsip Reduce, Reuse, Recycle, melakukan audit harian, pemilahan sampah di kapal, dan memanfaatkan energi ramah lingkungan seperti panel surya. Plastik dari kegiatan bersih-bersih pantai juga kami salurkan ke bank sampah dan ditukar dengan bahan pokok untuk masyarakat,” jelasnya.
Ia menambahkan, seluruh tahapan pengelolaan limbah, dari pemilahan hingga pelaporan dilakukan secara sistematis dan dilaporkan melalui sistem SIMPEL milik Kementerian LHK.
“Kami pastikan tidak ada pencampuran limbah. Semua dipisah dan dilabeli: organik, anorganik, dan B3. Semua tercatat dan diawasi,” tegas Benny.
Sementara itu, Prof. Muhammad Reza Cordova dari BRIN memaparkan bahwa mikroplastik kini telah menjadi ancaman nyata terhadap kesehatan manusia, bukan lagi sekadar isu lingkungan.
“Saat ini, rata-rata warga Indonesia menyerap sekitar 15 gram plastik/ bulan, setara tiga kartu ATM, melalui makanan, minuman, dan udara. Jika tidak dikendalikan, dua generasi ke depan bisa menyerap hingga 8.000 kartu ATM per tahun,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa mikroplastik telah ditemukan dalam darah, otak, bahkan ASI manusia. Dampaknya mencakup gangguan hormon, metabolisme, hingga potensi kanker.
“Plastik tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya pecah menjadi bagian lebih kecil dan masuk ke tubuh makhluk hidup. Ini adalah krisis kesehatan global,” tegasnya.
Prof. Reza juga menyoroti bahwa sampah plastik bersifat lintas batas dan dapat mencemari wilayah pesisir manapun mengikuti arus laut, termasuk di Bangka dan Kalimantan Barat.
Webinar ini diikuti oleh ratusan peserta dari internal PT TIMAH Tbk dan mitra usaha. Kegiatan ini menjadi refleksi sekaligus dorongan untuk memperkuat praktik pertambangan yang bertanggung jawab dan adaptif terhadap tantangan lingkungan global. (*)