WARTAPUBLIK.COM, RAJIK– Keberadaan dua kapal isap produksi (KIP) yang beroperasi di perairan Pantai Permis dan Desa Rajik, Kabupaten Bangka Selatan, memicu keresahan warga, khususnya para nelayan tradisional. Kapal tersebut, yakni KIP Pirat 1 dan Isamar, diduga milik PT Synergy Maju Bersama (SMB).
Nelayan mengeluhkan aktivitas KIP yang mengganggu ruang tangkap mereka dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan laut.
“Sejak 2023 kami sudah terganggu. Kapal itu beroperasi di lokasi kami biasa menjaring ikan,” ujar Sal, seorang nelayan setempat, saat ditemui di Pantai Rajik, Minggu (20/7/2025).
Ia menyebut, meski kapal tampak tidak aktif menambang, namun kerap memutar-mutar mesin di laut hingga menyebabkan air keruh. “Itu bikin ikan lari. Tangkap ikan pun makin sedikit. Hari ini cuma dapat kepiting dan sedikit ikan,” keluhnya sambil menunjukkan hasil tangkapannya.
Menurut Sal, sebagian warga kini beralih menjaga ponton tambang rakyat (TI) karena penghasilan dari melaut terus menurun. “Banyak warga sekarang jaga ponton malam hari,” tambahnya.
Keluhan nelayan juga menyasar soal kompensasi yang tidak transparan dan sosialisasi yang minim.
“Sampai sekarang nggak tahu berapa dana kompensasi untuk desa. Kalau pun ada, hanya aparat desa yang tahu. Tidak sebanding dengan hasil kapal yang katanya ratusan ton,” ungkapnya.
Sementara Giman, pemilik warung di tepi pantai, menyebut bahwa sejak dua tahun terakhir tidak terlihat lagi aktivitas bongkar muat timah maupun BBM dari kapal-kapal tersebut. “Dulu masih ada, sekarang nggak ada sama sekali,” ujarnya.
Sumber lain menyebut KIP Pirat 1 dan Isamar lebih banyak berperan sebagai penampung timah dari kolektor, bukan sebagai alat produksi aktif. “Cuma kamuflase. Produksinya bisa lebih dari 1.000 ton per tahun, padahal kapal jarang beroperasi,” ujar sumber tersebut.
Timah hasil pembelian dari kolektor diduga diklaim sebagai produksi kapal di laut, yang menimbulkan pertanyaan serius soal legalitas dan proses distribusinya.
“Hebat betul, kapal diam saja tapi bisa produksi puluhan ton. Di mana logikanya?” cetus warga lain dengan nada kesal.
Warga pun mempertanyakan keberpihakan aparat penegak hukum (APH). “Kalau masyarakat kecil pakai TI langsung ditangkap, di razia, dikejar-kejar. Tapi kalau perusahaan besar, walau sudah jelas janggal, dibiarkan saja,” ujar mereka serempak.
Warga Desa Rajik dan Permis mendesak agar pemerintah dan aparat hukum memeriksa seluruh aktivitas kapal isap tersebut, termasuk jalur distribusi timah, legalitas produksi, serta transparansi kompensasi bagi masyarakat.
“Kami cuma dijadikan tameng. Kalau bisa kapal itu minggat dari kampung kami,” ujar salah satu warga.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT SMB belum memberikan klarifikasi. Salah satu pimpinan yang disebut bernama Senja dan diketahui sebagai komisaris PT SMB belum merespons pesan konfirmasi yang dikirimkan ke nomor ponsel pribadinya. (tim