Caption foto: Nama Sekolah SDN 06 Kota Pangkalpinang, Ilustrasi buku LKS, Jumat (17/10/25).
Editor : Haryani, C.IJ,, C. PW
Wartapublik.com, Pangkalpinang — Di tengah semangat orang tua mendukung pendidikan anaknya, muncul kisah getir yang menggambarkan betapa tipis batas antara “partisipasi sukarela” dan “paksaan sosial” di dunia sekolah.
Isu dugaan pungutan liar kembali mengguncang lingkungan pendidikan di Kota Pangkalpinang. Kali ini, sorotan publik tertuju pada SD Negeri 6 Pangkalpinang, setelah beredar kabar bahwa orang tua siswa kelas 6 diminta membeli delapan buku pengayaan seharga Rp309.000 untuk dua semester yang ditulis oleh Buletinexpres.com menjadi topik hangat.
Permintaan itu tidak datang lewat surat resmi sekolah, melainkan melalui grup WhatsApp Paguyuban Kelas 6B. Di sana disebutkan bahwa pembayaran bisa dicicil hingga Desember, bahkan uangnya bisa dititipkan lewat anak kepada “Bu Is” atau ditransfer ke nomor rekening pribadi.
Sekilas, tidak ada nada paksaan. Namun bagi sebagian orang tua, pesan sederhana itu justru menimbulkan tekanan sosial.
“Memang tidak ada kata wajib, tapi kalau semua teman anak saya sudah punya buku, masa anak saya sendiri tidak? Akhirnya kami berusaha cari uang tambahan supaya anak tidak minder di kelas,” ujar seorang wali murid, lirih.
Bagi mereka yang hidup pas-pasan, Rp300 ribu bukan jumlah kecil. Namun rasa takut anaknya dikucilkan atau tertinggal pelajaran membuat mereka ikut arus membeli buku yang disebut sebagai “pengayaan” menjelang ujian akhir.
Di sinilah persoalan muncul. Paguyuban kelas, yang sejatinya bukan lembaga resmi, kembali menjadi perantara transaksi pendidikan. Modus ini sering dipakai untuk menyalurkan pungutan tanpa melibatkan langsung pihak sekolah, seolah-olah inisiatif itu murni datang dari orang tua.
Padahal, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 secara tegas melarang segala bentuk pungutan wajib di sekolah negeri, termasuk penjualan buku pendamping.
Ironisnya, larangan serupa baru saja ditegaskan kembali oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pangkalpinang melalui surat edaran tertanggal 28 Juli 2025. Edaran itu melarang penjualan buku LKS, seragam, maupun pungutan lain yang dilakukan oleh sekolah negeri.
Kepala SDN 6 Pangkalpinang, Ria, membantah keras adanya praktik pungli di lingkungan sekolahnya. Ia menegaskan bahwa pembelian buku pengayaan tersebut merupakan kesepakatan antarorang tua murid, bukan instruksi dari pihak sekolah.
“Buku itu tidak wajib. Kami tidak pernah memaksa. Itu murni inisiatif orang tua yang ingin anaknya punya referensi tambahan belajar, apalagi menjelang ujian akhir,” jelasnya kepada awak media, Jumat (17/10/2025).
Menurut Ria, ia selalu menegaskan kepada guru agar tidak melakukan pungutan apa pun tanpa dasar hukum. “Saya terbuka terhadap semua orang tua. Kalau ada yang keberatan, bisa langsung komunikasikan ke sekolah,” tambahnya.
Meski demikian, penggunaan rekening pribadi dan keterlibatan paguyuban tetap memunculkan pertanyaan publik. Di mata sebagian pemerhati pendidikan, hal ini menimbulkan celah transparansi yang perlu diawasi oleh Inspektorat maupun Dinas Pendidikan.
Kasus SDN 6 Pangkalpinang hanyalah satu dari banyak cerita tentang bagaimana tekanan sosial bisa berubah menjadi beban finansial bagi keluarga murid.
Seorang pemerhati pendidikan di Pangkalpinang menilai, persoalan ini bukan hanya tentang pelanggaran aturan, tetapi juga tentang empati sosial di lingkungan sekolah.
“Ini bukan sekadar kata ‘wajib’ atau ‘tidak wajib’. Ini soal perasaan tertekan. Orang tua takut anaknya malu karena tidak punya buku seperti teman-temannya,” ujarnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem paguyuban yang tidak memiliki landasan hukum sering kali menjadi ruang abu-abu antara niat baik dan praktik tidak sehat.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Kota Pangkalpinang, Erwandi, memastikan bahwa pihaknya tidak akan mentolerir praktik jual beli buku yang disertai unsur pemaksaan.
“Sekolah negeri tidak boleh mewajibkan siswa membeli buku pengayaan, kecuali atas keinginan orang tua sendiri. Jika ditemukan pelanggaran, kami akan tindak tegas,” tegas Erwandi.
Ia juga berjanji akan memanggil pihak SDN 6 untuk klarifikasi dan memperketat pengawasan terhadap kegiatan pengumpulan uang melalui paguyuban kelas.
“Paguyuban tidak termasuk mekanisme resmi sekolah. Kami akan pantau agar tidak ada pungutan terselubung yang mengatasnamakan kesepakatan bersama,” ujarnya.
Kisah di SDN 6 Pangkalpinang membuka kembali tabir lama: bahwa praktik pungutan di sekolah tidak selalu berbentuk perintah, tapi kadang hadir dalam bentuk tekanan halus yang membuat orang tua terpaksa memilih jalan yang tidak ingin mereka tempuh.
Kini, masyarakat menunggu langkah nyata dari Pemerintah Kota Pangkalpinang, di bawah kepemimpinan Wali Kota Prof. Saparudin dan Wakil Wali Kota Dessy Ayutrisna, untuk menertibkan praktik serupa di sekolah-sekolah lain.
Hingga berita ini diterbitkan, Wali Kota Pangkalpinang Prof. Saparudin masih dalam proses konfirmasi.
Sumber : (Buletinexpres.com/Tim JMSI)