Caption Foto : Dr Ichwan Azwardi dengan buku terbarunya yang mengulas secara komprehensif tantangan dan peluang hilirisasi timah Indonesia.
Editor : Haryani
Wartapublik.com, Pangkalpinang— Kegelisahan intelektual serta pengamatan mendalam terhadap berbagai diskusi tentang hilirisasi mineral tambang mendorong Dr Ichwan Azwardi menulis sebuah buku baru yang mengupas tuntas persoalan hilirisasi timah di Indonesia.
Dalam buku berjudul Timah Indonesia ‘Bottle Neck’: Hilirisasi Industri Pertambangan Komoditas Timah, penulis yang juga praktisi pertambangan itu menyoroti kesenjangan pemahaman filosofis yang dinilainya menjadi kendala utama dalam mewujudkan hilirisasi nasional.
Dr Ichwan menjelaskan, dorongan menulis buku ini muncul setelah dirinya mengikuti berbagai seminar, dialog, dan forum lintas profesi yang membahas hilirisasi timah. Meski banyak perspektif dibahas, ia melihat ada persoalan mendasar yang kerap luput dari perhatian.
“Saya merasa ada hal-hal filosofis yang menjadi penghambat dalam upaya hilirisasi. Semua pihak perlu menyamakan persepsi bahwa industri umum dan industri pertambangan memiliki karakter berbeda. Perbedaan ini sering menjadi rintangan dalam mewujudkan hilirisasi,” ujar pria kelahiran Medan , Jumat (28/11/25).
Ia menilai hilirisasi timah harus dipahami melalui dua lanskap besar: industri pertambangan dan industri pabrik (non-pertambangan). Industri pertambangan menghasilkan produk hilir berupa ingot timah 99,99%, yang selanjutnya menjadi bahan baku bagi industri lanjutan, mulai dari solder hingga berbagai komponen teknologi tinggi seperti baterai, telepon genggam, hingga mobil listrik.
Ichwan juga menyoroti fakta bahwa 95 persen logam timah Indonesia masih diekspor, sementara hanya 5 persen diserap dalam negeri. Sebagian besar dari angka tersebut digunakan untuk industri solder yang merupakan tingkat hilir terendah.
Menurutnya, pemerintah kini cukup serius mendorong hilirisasi mineral kritis dan strategis, termasuk timah. Namun upaya ini tetap membutuhkan fondasi kuat berupa kepastian pasokan bahan baku dari hulu.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa hilirisasi dalam negeri belum ‘bangun’. Untuk meningkatkan serapan dalam negeri, industri hilir harus diciptakan. Semua bergantung pada keberlanjutan suplai bahan baku,” katanya.
Selain itu, ia memetakan sejumlah tantangan hilirisasi, seperti penentuan jenis produk hilir yang akan dikembangkan, kebutuhan bahan bakunya, serta nilai ekonominya. Ketidakjelasan data tersebut, menurutnya, membuat industri pertambangan sulit menyesuaikan proses dan skala bisnis.
Salah satu gagasan yang ia tekankan adalah bahwa cadangan timah bukanlah angka tetap. Cadangan, menurutnya, merupakan hasil dari efisiensi desain bisnis perusahaan.
“Semakin efisien proses bisnis perusahaan, semakin besar cadangannya. Sebaliknya, semakin tidak efisien, semakin sedikit yang bisa diklasifikasikan sebagai cadangan. Ini murni proses engineering,” jelasnya.
Ichwan menegaskan bahwa negara maju adalah negara yang menguasai teknologi, dan timah merupakan komponen penting untuk berbagai perangkat strategis, mulai dari pertahanan hingga energi ramah lingkungan.
“Sebagai negara yang diberkahi cadangan timah, Indonesia punya modal besar untuk membangun industri hilirisasi. Produk hilir akan memperkuat ekonomi sekaligus kedaulatan negara,” ujarnya.
Ia berharap bukunya dapat menjadi rujukan bagi masyarakat dan pemangku kepentingan untuk memahami perbedaan karakter antara industri tambang dan industri pabrik, sehingga diskusi mengenai hilirisasi tidak hanya bersifat normatif, tetapi berdasar pemahaman struktur industri yang sesungguhnya.
“Para pihak perlu menyamakan persepsi terlebih dahulu. Buku ini saya tulis agar pembaca dapat melihat hilirisasi timah secara lebih jernih,” tutupnya.












